You can be happy or you can be unhappy. It's just according to the way you look at things. - Walt Disney

Selasa, 30 September 2014

Move On

9/30/2014 04:46:00 PM Posted by Visy Noor Widinda No comments


Halooooo~
bertemu lagi dengan adiknya taylor swift huaahahaha
gue mau iseng-iseng ngepost aja cerpen karya gue hahaha *bangga ceritanya*. sebenernya ini itu buat tugas b.indonesia dan udah gua post juga di wattpad tapi gak apa-apa kan ya gue post juga disini '-')/
udahlah kayanya gue banyak ngomong, monggo silahkan dibaca~ yakalo bisa abis baca di share ya ke socmed kalian hihi. Thankies!


Move On

Aku menatap kosong kearah senja yang tampak menawan di balkon kamarku. Sekarang sudah hampir setahun semenjak meninggalnya Rino. Sudah hampir setahun aku mencoba mengikhlaskan kepergiannya. Sudah hampir setahun aku mencoba hidup tanpa cintanya. Sudah hampir setahun aku mencoba membuka hatiku untuk pria lain tapi semuanya sia-sia. Memang benar apa kata orang kalau ucapan lebih mudah dari prakteknya.


Aku dan tante Risma, mama dari alm. Rino, masih tetap akrab. Bahkan dia sering mengajakku untuk menginap di rumahnya karena dia kesepian. Ya, setelah meninggalnya Rino, tante Risma hanya tinggal berdua dengan suaminya karena Rino anak tunggal. Suaminya juga sering pulang malam karena pekerjaannya. Ya begitulah kehidupan tante Risma sekarang.
“Sha..” panggil seseorang lalu menepuk bahuku. Aku sedikit terkejut karena tepukannya dan membuat lamunanku buyar. Aku berbalik untuk melihat siapa yang menepuk bahuku. Ternyata itu adikku, Dina. Aku mendengus kearahnya.
“Maghrib ka, salat dulu yuk,” ajaknya sambil tersenyum lebar
Aku mengangguk lalu mengikutinya menuju ruangan untuk salat yang memang dikhususkan untuk salat oleh keluargaku. Setelah berwudhu, aku, Dina, mama, dan papa salat berjamaah. Jarang kami bisa salat berjamaah seperti ini, kami hanya bisa melakukannya setiap sabtu dan minggu saja. Di hari lain kami sibuk. Aku bekerja, Dina kuliah, papa kerja dan mama terkadang ada acara. Setelah salat kami bersalaman dan saling memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Kemudian kami berjalan menuju ruang keluarga sambil mengobrol ringan. Di ruang keluarga kami hanya sekedar menonton TV dan beberapa kali papa dan Dina mengomentari acara yang sedang kami tonton lalu berakhir dengan tawaan. Papa dan Dina memang begitu, selera humornya tinggi. Berbeda denganku dan mama, kami pintar menempatkan dimana obrolan candaan dan obrolan serius. Papa dan Dina? Susah membedakan mereka jika sedang serius atau bercanda.
Papa dan mama sudah meninggalkan ruang keluarga mengingat sekarang sudah hampir jam setengah sebelas malam. Aku dan Dina masih di ruang keluarga menonton film yang ditayangkan disebuah channel TV. Kalau masalah menonton film, aku tidak mau ketinggalan barang sedikit adegan atau percakapannya. Aku merasakan sebuah tangan mencolek-colek bahuku. Pasti ini Dina.
“Ada apa?” tanyaku yang masih serius menonton
“Ada yang mau minta nomor hp kaka,” jawabannya berhasil membuatku menoleh kearahnya yang sedang sibuk dengan ponselnya
“Serius gak? Kamu kan suka bercanda.”
“Aku serius kak.”
“Siapa?”
“Kakaknya temenku. Katanya sih dia temen kaka waktu SMA. Aku gak tau nama kakaknya, temenku ini juga gak bilang nama kakaknya siapa.”
“Tanyain dulu namanya sana.”
Aku berpikir sejenak. Di SMA, aku banyak mempunyai teman. Kalau dipikirkan siapa yang meminta nomor ponselku pasti tidak ada selesainya. Aku kembali menonton film yang ada di hadapanku walaupun pikiranku masih memikirkan siapa yang meminta nomor ponselku. Aku memang sering kehilangan separuh konsentrasiku jika sedang menonton film tetapi ada sesuatu yang membuatku penasaran. Rino berhasil membuatku seperti itu, dulu. Duh, Gisha! Cobalah mengikhlaskan kepergiannya dengan tidak terus menyambung-nyambungkan suatu kejadian dengan Rino.
“Kak, yang minta nomor kaka namanya kak Vino,” ucapan Dina membuatku menoleh lagi kepadanya
Vino? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Aku mencoba mengingat siapa itu Vino. Nah! Aku tau sekarang! Vino adalah teman sebangkuku dulu saat aku kelas 11. Ya ampun, aku sudah lama tidak mengobrol dengannya. Aku segera memberitahukan Dina untuk memberi nomorku kepada Vino.
**
Aku merasakan ada seseorang yang mengguncangkan lenganku. Aku masih mengantuk jadi aku tidak mempedulikannya. Lama-lama guncangan ini semakin kuat, mau tidak mau aku membuka mata untuk melihat siapa yang berani-beraninya membangunkanku. Huh, ternyata mama, dia sedang duduk di tepi ranjang. Aku tidak jadi kesal karena mama yang membangunkanku. Kalau Dina? Sudah aku semprot dengan mulutku.
“Sha, ikut jogging yuk!” ajak mama bersemangat sementara aku masih ingin tidur
“Aku masih ngantuk ma. Lain kali aja,” tolakku dengan nada halus
“Ikut aja, biar sehat. Daripada tidur lagi, nanti gak ada orang dirumah,”
“Yaudah gak apa-apa kalo aku cuma sendirian dirumah. Aku masih mau lanjut tidur ma,”
“Kamu ini ya, diajak sehat malah gak mau.”
Aku hanya membalasnya dengan gumaman. Aku masih sangat mengantuk karena semalam aku baru tidur jam setengah satu ketika film yang kemarin selesai. Aku melihat mama bangkit dari ranjangku. Dia menuju pintu kamarku hendak membuka pintu tetapi langkahnya terhenti. Dia berbalik menatapku dengan tatapan sendunya. Ada apa dengannya?
“Kamu harus terus mencoba mengikhlaskan Rino, Sha. Kalau kamu terus-terusan bersedih karena kepergiannya, dia pasti juga akan sedih disana. Kamu harus membuka hatimu untuk pria lain yang mungkin sedang menunggu pintu hatimu terbuka. Ingat, kamu masih punya masa depan. Kalau kamu masih terus-terusan menangisi masa lalu, kamu tidak akan pernah maju. Mama sayang sama kamu makanya mama bilang ini ke kamu, mama gak mau hidup anak mama terpuruk. Teruslah mencoba ya,”
Mama keluar dari kamarku. Ucapan mama barusan membuat hatiku tertohok. Aku merasakan sesak yang amat menyiksa di dadaku. Aku hampir saja meloloskan cairan bening yang sudah menumpuk dimataku, tapi aku tidak boleh menangis. Mama benar, tante Risma benar. Aku tidak boleh sedih terus-terusan, tetapi apa aku bisa melakukannya? Sudah hampir setahun aku mencobanya tetapi hasilnya tetap nihil. Untuk mengikhlaskan kepergian Rino memang sangat sulit, tetapi kalau membuka pintu hatiku aku akan mencobanya dengan lebih keras. Umurku sudah 25 tahun tetapi aku masih saja terpuruk. Aku harus bangkit!
Aku sudah tidak mengantuk lagi akibat ucapan mama. Aku segera bangkit dari tidur lalu berjalan menuju dapur. Mama mungkin belum sempat memasak karena tidak ada makanan. Aku mencari makanan di kulkas ternyata ada coklat. Wah lumayan, kan katanya coklat bisa membuat mood kita naik. Ya walaupun sebenarnya tak ada masalah dengan moodku tapi tetap saja kalau mengingat kalimat-kalimat mama tadi, aku ingin menangis saja.
Lalu aku mandi agar tubuhku lebih segar. Setelah menyelesaikan ritual mandi, aku kembali ke kamar. Aku mengambil ponselku, siapa tahu ada yang menelpon atau sebagainya. Aku melihat ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Mungkin ini dari Vino yang semalam meminta nomorku.
Selamat pagi, Gisha! Akhirnya gue dapet nomor lo! Udah lama banget nih gak ketemu, huhu. Ketemuan, yuk? :)
-Vino, temen sebangku lo waktu SMA yang gantengnya melebihi batas-
Segera aku menyimpan nomornya terlebih dahulu. Aku terkekeh pelan melihat kalimat paling terakhir. ‘Vino, temen sebangku lo yang gantengnya melebihi batas’, dia masih saja seperti dulu. Orang yang menyenangkan. Orang dengan selera humor tinggi, sama seperti Dina dan papa. Aku tentu senang jika akan bertemu dia kembali. Segera aku mengetikkan balasan untuknya.
Gisha : Selamat pagi juga, Vin! Cie kangen sama gue ya? Boleh banget nih ketemuan. Ketemuan dimana?
Vino : Harus gue akuin, gue kangen banget sama lo! Lo maunya dimana?
Gisha : Di café cempaka aja, disitu enak banget tempatnya. Gimana?
Vino : Oke atur aja. Gue jemput lo ya! Jam 3 sore lo harus udah siap!
Gisha : Loh emang lo tau rumah gue dimana?
Vino : Dulu kan gue sering main ke rumah lo. Gue masih ingetlah.
Gisha : Yaudah sip
Vino : Sampai ketemu nanti sore, cantik :)
Aku tersenyum melihat balasannya. Ya, aku tahu kalau dia sedang bercanda. Aku senang nanti akan ketemuan dengan temanku yang sudah hampir 5 tahun tidak bertemu. Aku penasaran melihat wajahnya. Apakah masih terlihat tampan atau bahkan kadar ketampanannya bertambah? Aku jadi tidak sabar bertemu dengannya nanti sore.
Sekarang sudah hampir pukul 3 sore. Aku sudah siap untuk di jemput Vino. Aku menunggunya di ruang tamu sembari bermain pou di ponselku. Seperti anak kecil? Aku tak peduli. Terdengar suara ketukan pintu diluar. Aku yakin itu pasti Vino mengingat kami akan pergi keluar.
Aku bangkit dan membuka pintunya. Aku terkejut sambil mengagumi wajah pria yang ada dihadapanku saat ini. Alisnya tebal, hidung yang tidak terlalu mancung, bibir tipis, badan yang tegap serta rambut yang hitam agak kecoklatan. Aku semakin terpesona tatkala pria yang ada dihadapanku ini tersenyum menunjukan lesung pipi yang menawan. Apa ini benar-benar Vino?
“Hai!” sapanya.
“Lo beneran Vino?” tanyaku yang masih tak percaya
“Seenggaknya lo jawab ‘hai’ gue dulu baru lo mengakui ketampanan gue.”
Aku memutar kedua bola mataku. Sekarang aku yakin dia adalah Vino. Benar-benar tidak berubah sifat aslinya, hanya saja dia sekarang tampak dewasa. Harus aku akui dia bertambah tampan. Dia terkekeh pelan melihatku.
“Gue makin ganteng kan?” tanyanya sambil menaik-naikan alis
“Iya terserah,”
**
Setelah pertemuan aku dan Vino, aku jadi mengetahui sedikit tentangnya. Dia seorang dokter spesialis saraf di sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Dia sekarang tinggal bersama adiknya yang masih kuliah, yang kebetulan berteman dekat dengan adikku. Orang tuanya meninggal ketika dua hari sebelum Vino di wisuda, sangat miris memang. Aku tak bisa membayangkan jika menjadi Vino.
Vino terlalu giat mencari uang untuk menghidupi hidup dirinya dan adiknya, sampai-sampai saat ini dia masih sendiri. Sewaktu dia menceritakan tentang kesendiriannya, lantas membuatku tertawa saat itu. Vino juga sudah tahu tentang kisah cintaku dengan Rino, semenjak saat itu dia tidak pernah mau mengungkitnya lagi. Semenjak saat itu kami sering pergi bersama. Entah untuk berjalan-jalan biasa setelah bekerja, menonton, atau makan bersama. Semenjak kedatangan Vino, hidupku menjadi lebih berwarna. Tidak hanya putih seperti dulu, semenjak kepergian Rino. Keluargaku senang karena perubahan ini dan keluargaku sangat senang jika aku pergi bersama Vino.
Siang ini, aku dan Vino berencana makan siang bersama tetapi tiba-tiba Vino mempunyai pasien yang harus ditanganinya. Akhirnya aku makan siang bersama Gina, teman satu divisiku. Kami makan di kantin kantorku. Kami mengobrol ringan dan sampai pada suatu topik, aku terdiam mendengar penuturan Gina.
“Sha, mendingan lo move on ke Vino deh. Lo kan udah kenal sama dia dari SMA, beberapa bulan terakhir ini juga kalian makin dekat. Mungkin ini jalan agar lo bisa mengikhlaskan kepergian Rino. Lo gak mau kan terus-terusan stuck sama Rino?”
Aku menggeleng tanda tak setuju. Aku gak mau terus-terusan stuck di Rino. Aku mau kembali menjalani hidupku dengan normal dan hidup dengan kasih sayang orang yang kuanggap spesial selain keluargaku. Mama benar, Gina benar, aku gak boleh begini terus. Dengan penuh tekad, aku menjawab penuturan Gina.
“Gue akan coba.”
**
Malam ini aku sendiri dirumah. Papa pergi keluar kota mengurus pekerjaannya dan mama ikut pergi bersama papa. Dina menginap di rumah temannya dan katanya lusa dia akan pulang. Aku sendirian di dalam kamar sambil bermain LIMBO di laptop. Ponselku yang memang ada di sebelahku tiba-tiba berbunyi. Aku melirik ke layar ponsel dan kutemukan Vino yang sedang menelponku. Aku segera mempause permainanku lalu mengangkat telponnya.
“Hai, cantik!” sapanya diujung sana membuatku tersenyum
“Hoi, jelek!” jawabku antusias
“Ish, apaan tuh jelek. Gue ganteng begini, gue gak terima. Sebagai cowok ganteng gue merasa tersakiti.” Protesnya dengan nada lebay di kalimat terakhir
“Yeee, lebay lo!”
“Gak apa-apa sih, yang penting ganteng.” Aku memutar bola mataku saat mendengar ucapannya
“Mau ngapain nelpon?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, daripada dia terus-terusan memuji dirinya sendiri
“Gue mau main ke rumah lo dong. Adik gue lagi nginep dirumah temennya, katanya bareng adik lo juga.”
“Oalah, yaudah main aja.”
“Sip! 20 menit lagi gue sampe. Tungguin gue ya, cantik.”
Aku hanya menggumam malas menjawabnya. Kemudian aku memutuskan sambungan telpon itu. Aku kembali melanjutkan bermain LIMBO. Aku berkali-kali berlari dan menghindar dari serangan laba-labar besar tetapi aku tetap saja tertusuk salah satu tangannya. Huh, lama-lama aku tidak berselera lagi bermain ini. Aku melirik jam di laptopku, sudah 20 menit tetapi Vino tak kunjung datang. Ponselku berdering menandakan ada bbm masuk.
Vino : Gue udah di depan rumah lo, cantik :*
Aku sudah biasa menghadapi Vino yang seperti ini. Aku dan Vino sudah seperti orang yang sedang berpacaran tetapi nyatanya tidak. Yah, meskipun aku sudah membuka ‘sedikit’ pintu hatiku untuk Vino tapi aku masih menganggapnya ‘teman’. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya terhadapku tetapi yang jelas aku masih menikmati ini. Masih menikmati masa-masa ini. Aku segera mengirimkan balasan untuknya.
Gisha : Masuk aja, ganteng. Pintunya belom dikunci.
Setelah beberapa menit menunggu, pintu kamarku terbuka. Aku yakin itu Vino jadi aku santai saja sambil bermain handphone. Setelah beberapa detik tidak ada orang yang masuk, aku jadi heran. Kemana si Vino itu? Aku memutuskan beranjak dari posisi sambil menaruh ponselku di saku celana, untuk melihat apa yang terjadi disana. Setelah keluar dari kamar, aku tak melihat adanya tanda-tanda kehidupan. Saat aku ingin menuju ruang tamu, aku menginjak sebuah kertas. Aku ambil kertas itu dan kulihat tulisan berwarna merah, kertas itu berisi tulisan “FOLLOW ME!”. Aku mengernyit, siapa yang melakukan ini semua?
Aku tidak mempedulikan kertas itu dan malah menuju ke dapur. Aku butuh makanan ringan dan minuman bersoda untuk malamku ini. Yah, ternyata Vino belum datang. Saat aku ingin meninggalkan dapur, aku melihat ada tulisan lagi di dekat kompor. Tulisan yang berisikan “Bandel banget sih lo! Ikutin gue, Gisha! Lo pergi ke halaman depan lo sekarang juga!”. Aku merinding seketika. Siapa yang melakukan hal ini? Kenapa dia tahu namaku? Kenapa dia melakukan hal ini? Aku segera mengetikkan bbm untuk Vino.
Gisha : VIN! TOLONG GUE! GUE TAKUT TINGKAT AKUTTT!!
Setelah hampir 10 menit menunggu balasan bbm dari Vino, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Sebelum aku menaiki tangga, ada tulisan lagi, “Kalo lo mau keluarga lo selamat, lo ke halaman depan sekarang!”. Dengan tangan bergetar aku merobek kertas itu dan membuangnya dengan asal. Ya ampun, aku punya salah apa sampai-sampai keluargaku dibawa-bawa? Tanpa berpikir panjang, aku segera ke halaman depan. Kemudian aku sampai dan melihat-lihat. Disini tidak ada siapapun selain aku.
Aku melihat ada sebuah kertas lagi ditempel di pohon. Aku segera mendekatinya dan membaca tulisannya, “Lo ke tempat danau favorit lo sekarang!”. Aku kembali merinding. Dia tahu darimana tempat danau favoritku? Apa selama ini aku selalu di ikuti oleh seorang ‘psycho’? Membayangkannya membuatku ketakutan. Tak terasa sebulir air mata lolos dari mataku. Aku harus kesana demi keluargaku. Harus!
Dengan menggunakan mobil, aku meluncur ke tempat yang sekarang aku nobatkan menjadi danau terkutuk. Setelah sampai, aku turun dengan kaki gemetar. Aku takut kalau keluargaku benar-benar ada dalam tangan seorang psycho. Ya Allah, tolong aku.
Aku mengernyit bingung. Di kawasan danau terkutuk ini, aku tak melihat adanya tanda-tanda keberadaan seorang psycho. Justru yang aku lihat sekarang adalah lilin yang menyala bertebaran dimana-mana, kelopak mawar putih bertebaran, lampu warna-warni menghiasi pohon-pohon yang ada disekitarnya membuat suasana menjadi romantis. Ini penculikan atau sebuah acara romantis?
Aku melihat kembali ada tulisan di permukaan danau tetapi aku tak tahu tulisan itu terbuat apa, berisikan “I LOVE YOU, GISHA”. Aku semakin gemetar melihat tulisan yang ada di danau itu. Apakah seorang psycho mencintaiku? Ya Allah, cobaan apalagi yang engkau berikan? Aku merasakan air mataku jatuh lagi mengingat sekarang aku dicintai seorang psycho.
“Kak Gisha!”
Aku segera menoleh kearah sumber suara yang sangat aku kenali. Benar saja, disana Gisha bersama kedua orangtuaku berdiri. Aku segera berlari kearah mereka dan menghambur ke pelukan mereka. Lalu aku melepaskan pelukan setelah menyadari kalau mereka tidak membalas pelukan mereka.
“Kalian di apain sama psycho itu?” tanyaku sangat khawatir
“Psycho yang mana?” Tanya mama
“Psycho yang nyekap kalian semua disini. Kalian diculik kan?”
“Kami gak diculik. Kami kesini mau menghadiri acara lamaran.” Jawab papa kali ini
“Acara lamaran siapa? Jangan bercanda deh. Disini tuh jelas-jelas kalian diculik sama psycho.”
“Kalau psychonya ganteng kayak gue gimana?”
Kalimat yang meluncur itu sukses membuatku menganga sempurna. Aku berbalik mengarah kepada sumber suara itu. Seorang pria yang akhir-akhir ini dekat denganku berdiri di pinggir danau dengan berbalut jas setelan yang membuatnya semakin tampan. Di iringi cahaya yang setengah redup membuatnya semakin menawan.
“Ini apaan sih maksudnya?!” tanyaku kesal
Ya, aku kesal. Ternyata semua orang disini mempermainkanku. Vino menghampiriku lalu memelukku, segera aku dorong tubuhnya. Aku pukuli tubuhnya dengan sekuat tenaga dan dengan dengan sendirinya tangisku pecah. Vino menangkup tanganku dan mencium buku-buku jariku.
“Maafin gue, okay?” ucapnya dengan lembut
“Nggak! Gue benci sama lo! Dasar psycho gila!” bentakku
“Terserah lo mau maafin gue atau gak. Gue tau ini keterlaluan banget. Gue cuma mau ngasih kejutan plus menyatakan perasaan gue yang dari dulu udah gue pendam. Tepatnya semenjak SMA. Dari awal gue duduk sebangku sama lo pas SMA, gue udah sayang sama lo. Bukan sebagai sahabat atau semacamnya. Gue emang pengecut gak berani ngungkapinnya karena gue tau dulu lo itu banyak yang ngejar-ngejar dan gue jadi minder.”
Ucapan Vino membuatku terdiam. Dia sayang sama aku? Semenjak SMA? Ya ampun aku jadi merasa bersalah karena tidak peka terhadap perasaanya. Ya, memang benar. Saat SMA banyak yang mengagumiku tapi aku menolak mereka secara halus agar mereka tidak tersakiti hatinya.
“Gue minder karena cowok-cowok yang ngejar lo lebih baik dari gue. Saat lulus SMA sebenarnya gue mau nyatain perasaan gue, tapi keberanian itu gak kunjung dateng. Akhirnya gue milih mengubur perasaan ini. Saat jaman kuliah, gue denger lo jadian sama Rino dan itu malah membangkitkan perasaan gue lagi. Gue gak mau ngerusak hubungan kalian jadi gue menahan perasaan ini. Lalu gue dapet kabar kalau Rino meninggal dan keadaan lo sangat terpuruk. Gue mau datang lagi ke kehidupan lo untuk menghibur lo, tapi siapa sangka perasaan ini justru semakin menggebu-gebu saat gue berdekatan sama lo.” Lanjut Vino
“Jadi gue harap lo bisa menghargai perasaan gue. Gue tau emang gak gampang dapetin lo tapi kalau lo udah ngehargain perasaan gue, gue udah seneng banget. Sebenarnya gue mau tanya juga sih, lo punya perasaan yang sama gak sama gue?”
Aku tak tahu sudah berapa banyak meneteskan air mata karena mendengar pengakuannya. Sudah cukup aku menyakitinya. Sudah cukup aku terpuruk dengan keadaan. Sudah cukup aku menangisi kepergian orang yang sudah pergi. Aku harus bisa membalas perasaan Vino. Lagipula aku sudah membuka pintu hatiku walaupun sedikit untuk Vino.
“Gue udah ngebuka pintu hati untuk lo walaupun baru sedikit. Itu gak masalah kok. Lagipula cinta ada karena terbiasa kan? Ya, gue punya perasaan itu walaupun hanya sedikit.” Jawabku menyakinkannya
Vino tersenyum dengan menawan. Aku juga ikut tersenyum melihatnya. Dia mengambil sesuatu di saku jasnya. Itu adalah sebuah kotak kecil berwarna biru. Vino membukanya dan terlihatlah sebuah cincin sederhana dengan batu kecil yang mengkilap di tengahnya. Aku menutup mulutku untuk tidak menganga disaat seperti ini. Tentu saja aku terkejut.
“Will you marry me?” tanyanya dengan lembut dan ada nada tegas di dalamnya
Dengan kemantapan hati, aku menjawab “Yes, I will.”

0 komentar:

Posting Komentar