bertemu lagi dengan adiknya taylor swift huaahahaha
gue mau iseng-iseng ngepost aja cerpen karya gue hahaha *bangga ceritanya*. sebenernya ini itu buat tugas b.indonesia dan udah gua post juga di wattpad tapi gak apa-apa kan ya gue post juga disini '-')/
udahlah kayanya gue banyak ngomong, monggo silahkan dibaca~ yakalo bisa abis baca di share ya ke socmed kalian hihi. Thankies!
Move On
Aku
menatap kosong kearah senja yang tampak menawan di balkon kamarku. Sekarang
sudah hampir setahun semenjak meninggalnya Rino. Sudah hampir setahun aku
mencoba mengikhlaskan kepergiannya. Sudah hampir setahun aku mencoba hidup
tanpa cintanya. Sudah hampir setahun aku mencoba membuka hatiku untuk pria lain
tapi semuanya sia-sia. Memang benar apa kata orang kalau ucapan lebih mudah
dari prakteknya.
Aku
dan tante Risma, mama dari alm. Rino, masih tetap akrab. Bahkan dia sering
mengajakku untuk menginap di rumahnya karena dia kesepian. Ya, setelah
meninggalnya Rino, tante Risma hanya tinggal berdua dengan suaminya karena Rino
anak tunggal. Suaminya juga sering pulang malam karena pekerjaannya. Ya
begitulah kehidupan tante Risma sekarang.
“Sha..”
panggil seseorang lalu menepuk bahuku. Aku sedikit terkejut karena tepukannya
dan membuat lamunanku buyar. Aku berbalik untuk melihat siapa yang menepuk
bahuku. Ternyata itu adikku, Dina. Aku mendengus kearahnya.
“Maghrib
ka, salat dulu yuk,” ajaknya sambil tersenyum lebar
Aku
mengangguk lalu mengikutinya menuju ruangan untuk salat yang memang dikhususkan
untuk salat oleh keluargaku. Setelah berwudhu, aku, Dina, mama, dan papa salat
berjamaah. Jarang kami bisa salat berjamaah seperti ini, kami hanya bisa melakukannya
setiap sabtu dan minggu saja. Di hari lain kami sibuk. Aku bekerja, Dina
kuliah, papa kerja dan mama terkadang ada acara. Setelah salat kami bersalaman
dan saling memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.
Kemudian
kami berjalan menuju ruang keluarga sambil mengobrol ringan. Di ruang keluarga
kami hanya sekedar menonton TV dan beberapa kali papa dan Dina mengomentari
acara yang sedang kami tonton lalu berakhir dengan tawaan. Papa dan Dina memang
begitu, selera humornya tinggi. Berbeda denganku dan mama, kami pintar
menempatkan dimana obrolan candaan dan obrolan serius. Papa dan Dina? Susah
membedakan mereka jika sedang serius atau bercanda.
Papa
dan mama sudah meninggalkan ruang keluarga mengingat sekarang sudah hampir jam
setengah sebelas malam. Aku dan Dina masih di ruang keluarga menonton film yang
ditayangkan disebuah channel TV. Kalau masalah menonton film, aku tidak mau
ketinggalan barang sedikit adegan atau percakapannya. Aku merasakan sebuah
tangan mencolek-colek bahuku. Pasti ini Dina.
“Ada
apa?” tanyaku yang masih serius menonton
“Ada
yang mau minta nomor hp kaka,” jawabannya berhasil membuatku menoleh kearahnya
yang sedang sibuk dengan ponselnya
“Serius
gak? Kamu kan suka bercanda.”
“Aku
serius kak.”
“Siapa?”
“Kakaknya
temenku. Katanya sih dia temen kaka waktu SMA. Aku gak tau nama kakaknya,
temenku ini juga gak bilang nama kakaknya siapa.”
“Tanyain
dulu namanya sana.”
Aku
berpikir sejenak. Di SMA, aku banyak mempunyai teman. Kalau dipikirkan siapa
yang meminta nomor ponselku pasti tidak ada selesainya. Aku kembali menonton
film yang ada di hadapanku walaupun pikiranku masih memikirkan siapa yang
meminta nomor ponselku. Aku memang sering kehilangan separuh konsentrasiku jika
sedang menonton film tetapi ada sesuatu yang membuatku penasaran. Rino berhasil
membuatku seperti itu, dulu. Duh, Gisha! Cobalah mengikhlaskan kepergiannya
dengan tidak terus menyambung-nyambungkan suatu kejadian dengan Rino.
“Kak,
yang minta nomor kaka namanya kak Vino,” ucapan Dina membuatku menoleh lagi
kepadanya
Vino?
Sepertinya aku pernah mendengarnya. Aku mencoba mengingat siapa itu Vino. Nah!
Aku tau sekarang! Vino adalah teman sebangkuku dulu saat aku kelas 11. Ya
ampun, aku sudah lama tidak mengobrol dengannya. Aku segera memberitahukan Dina
untuk memberi nomorku kepada Vino.
**
Aku
merasakan ada seseorang yang mengguncangkan lenganku. Aku masih mengantuk jadi
aku tidak mempedulikannya. Lama-lama guncangan ini semakin kuat, mau tidak mau
aku membuka mata untuk melihat siapa yang berani-beraninya membangunkanku. Huh,
ternyata mama, dia sedang duduk di tepi ranjang. Aku tidak jadi kesal karena
mama yang membangunkanku. Kalau Dina? Sudah aku semprot dengan mulutku.
“Sha,
ikut jogging yuk!” ajak mama bersemangat sementara aku masih ingin tidur
“Aku
masih ngantuk ma. Lain kali aja,” tolakku dengan nada halus
“Ikut
aja, biar sehat. Daripada tidur lagi, nanti gak ada orang dirumah,”
“Yaudah
gak apa-apa kalo aku cuma sendirian dirumah. Aku masih mau lanjut tidur ma,”
“Kamu
ini ya, diajak sehat malah gak mau.”
Aku
hanya membalasnya dengan gumaman. Aku masih sangat mengantuk karena semalam aku
baru tidur jam setengah satu ketika film yang kemarin selesai. Aku melihat mama
bangkit dari ranjangku. Dia menuju pintu kamarku hendak membuka pintu tetapi
langkahnya terhenti. Dia berbalik menatapku dengan tatapan sendunya. Ada apa
dengannya?
“Kamu
harus terus mencoba mengikhlaskan Rino, Sha. Kalau kamu terus-terusan bersedih
karena kepergiannya, dia pasti juga akan sedih disana. Kamu harus membuka
hatimu untuk pria lain yang mungkin sedang menunggu pintu hatimu terbuka.
Ingat, kamu masih punya masa depan. Kalau kamu masih terus-terusan menangisi
masa lalu, kamu tidak akan pernah maju. Mama sayang sama kamu makanya mama
bilang ini ke kamu, mama gak mau hidup anak mama terpuruk. Teruslah mencoba
ya,”
Mama
keluar dari kamarku. Ucapan mama barusan membuat hatiku tertohok. Aku merasakan
sesak yang amat menyiksa di dadaku. Aku hampir saja meloloskan cairan bening
yang sudah menumpuk dimataku, tapi aku tidak boleh menangis. Mama benar, tante Risma
benar. Aku tidak boleh sedih terus-terusan, tetapi apa aku bisa melakukannya?
Sudah hampir setahun aku mencobanya tetapi hasilnya tetap nihil. Untuk
mengikhlaskan kepergian Rino memang sangat sulit, tetapi kalau membuka pintu
hatiku aku akan mencobanya dengan lebih keras. Umurku sudah 25 tahun tetapi aku
masih saja terpuruk. Aku harus bangkit!
Aku
sudah tidak mengantuk lagi akibat ucapan mama. Aku segera bangkit dari tidur
lalu berjalan menuju dapur. Mama mungkin belum sempat memasak karena tidak ada makanan.
Aku mencari makanan di kulkas ternyata ada coklat. Wah lumayan, kan katanya
coklat bisa membuat mood kita naik. Ya walaupun sebenarnya tak ada masalah
dengan moodku tapi tetap saja kalau mengingat kalimat-kalimat mama tadi, aku
ingin menangis saja.
Lalu
aku mandi agar tubuhku lebih segar. Setelah menyelesaikan ritual mandi, aku
kembali ke kamar. Aku mengambil ponselku, siapa tahu ada yang menelpon atau
sebagainya. Aku melihat ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.
Mungkin ini dari Vino yang semalam meminta nomorku.
Selamat
pagi, Gisha! Akhirnya gue dapet nomor lo! Udah lama banget nih gak ketemu,
huhu. Ketemuan, yuk? :)
-Vino,
temen sebangku lo waktu SMA yang gantengnya melebihi batas-
Segera
aku menyimpan nomornya terlebih dahulu. Aku terkekeh pelan melihat kalimat
paling terakhir. ‘Vino, temen sebangku lo yang gantengnya melebihi batas’, dia
masih saja seperti dulu. Orang yang menyenangkan. Orang dengan selera humor
tinggi, sama seperti Dina dan papa. Aku tentu senang jika akan bertemu dia
kembali. Segera aku mengetikkan balasan untuknya.
Gisha
: Selamat pagi juga, Vin! Cie kangen sama gue ya? Boleh banget nih ketemuan.
Ketemuan dimana?
Vino
: Harus gue akuin, gue kangen banget sama lo! Lo maunya dimana?
Gisha
: Di café cempaka aja, disitu enak banget tempatnya. Gimana?
Vino
: Oke atur aja. Gue jemput lo ya! Jam 3 sore lo harus udah siap!
Gisha
: Loh emang lo tau rumah gue dimana?
Vino
: Dulu kan gue sering main ke rumah lo. Gue masih ingetlah.
Gisha
: Yaudah sip
Vino
: Sampai ketemu nanti sore, cantik :)
Aku
tersenyum melihat balasannya. Ya, aku tahu kalau dia sedang bercanda. Aku
senang nanti akan ketemuan dengan temanku yang sudah hampir 5 tahun tidak
bertemu. Aku penasaran melihat wajahnya. Apakah masih terlihat tampan atau
bahkan kadar ketampanannya bertambah? Aku jadi tidak sabar bertemu dengannya
nanti sore.
Sekarang
sudah hampir pukul 3 sore. Aku sudah siap untuk di jemput Vino. Aku menunggunya
di ruang tamu sembari bermain pou di ponselku. Seperti anak kecil? Aku tak
peduli. Terdengar suara ketukan pintu diluar. Aku yakin itu pasti Vino
mengingat kami akan pergi keluar.
Aku
bangkit dan membuka pintunya. Aku terkejut sambil mengagumi wajah pria yang ada
dihadapanku saat ini. Alisnya tebal, hidung yang tidak terlalu mancung, bibir tipis,
badan yang tegap serta rambut yang hitam agak kecoklatan. Aku semakin terpesona
tatkala pria yang ada dihadapanku ini tersenyum menunjukan lesung pipi yang
menawan. Apa ini benar-benar Vino?
“Hai!”
sapanya.
“Lo
beneran Vino?” tanyaku yang masih tak percaya
“Seenggaknya
lo jawab ‘hai’ gue dulu baru lo mengakui ketampanan gue.”
Aku
memutar kedua bola mataku. Sekarang aku yakin dia adalah Vino. Benar-benar
tidak berubah sifat aslinya, hanya saja dia sekarang tampak dewasa. Harus aku
akui dia bertambah tampan. Dia terkekeh pelan melihatku.
“Gue
makin ganteng kan?” tanyanya sambil menaik-naikan alis
“Iya
terserah,”
**
Setelah
pertemuan aku dan Vino, aku jadi mengetahui sedikit tentangnya. Dia seorang
dokter spesialis saraf di sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Dia sekarang
tinggal bersama adiknya yang masih kuliah, yang kebetulan berteman dekat dengan
adikku. Orang tuanya meninggal ketika dua hari sebelum Vino di wisuda, sangat
miris memang. Aku tak bisa membayangkan jika menjadi Vino.
Vino
terlalu giat mencari uang untuk menghidupi hidup dirinya dan adiknya,
sampai-sampai saat ini dia masih sendiri. Sewaktu dia menceritakan tentang
kesendiriannya, lantas membuatku tertawa saat itu. Vino juga sudah tahu tentang
kisah cintaku dengan Rino, semenjak saat itu dia tidak pernah mau mengungkitnya
lagi. Semenjak saat itu kami sering pergi bersama. Entah untuk berjalan-jalan
biasa setelah bekerja, menonton, atau makan bersama. Semenjak kedatangan Vino,
hidupku menjadi lebih berwarna. Tidak hanya putih seperti dulu, semenjak
kepergian Rino. Keluargaku senang karena perubahan ini dan keluargaku sangat
senang jika aku pergi bersama Vino.
Siang
ini, aku dan Vino berencana makan siang bersama tetapi tiba-tiba Vino mempunyai
pasien yang harus ditanganinya. Akhirnya aku makan siang bersama Gina, teman
satu divisiku. Kami makan di kantin kantorku. Kami mengobrol ringan dan sampai
pada suatu topik, aku terdiam mendengar penuturan Gina.
“Sha,
mendingan lo move on ke Vino deh. Lo kan udah kenal sama dia dari SMA, beberapa
bulan terakhir ini juga kalian makin dekat. Mungkin ini jalan agar lo bisa
mengikhlaskan kepergian Rino. Lo gak mau kan terus-terusan stuck sama Rino?”
Aku
menggeleng tanda tak setuju. Aku gak mau terus-terusan stuck di Rino. Aku mau
kembali menjalani hidupku dengan normal dan hidup dengan kasih sayang orang
yang kuanggap spesial selain keluargaku. Mama benar, Gina benar, aku gak boleh
begini terus. Dengan penuh tekad, aku menjawab penuturan Gina.
“Gue
akan coba.”
**
Malam
ini aku sendiri dirumah. Papa pergi keluar kota mengurus pekerjaannya dan mama
ikut pergi bersama papa. Dina menginap di rumah temannya dan katanya lusa dia
akan pulang. Aku sendirian di dalam kamar sambil bermain LIMBO di laptop.
Ponselku yang memang ada di sebelahku tiba-tiba berbunyi. Aku melirik ke layar
ponsel dan kutemukan Vino yang sedang menelponku. Aku segera mempause
permainanku lalu mengangkat telponnya.
“Hai,
cantik!” sapanya diujung sana membuatku tersenyum
“Hoi,
jelek!” jawabku antusias
“Ish,
apaan tuh jelek. Gue ganteng begini, gue gak terima. Sebagai cowok ganteng gue
merasa tersakiti.” Protesnya dengan nada lebay di kalimat terakhir
“Yeee,
lebay lo!”
“Gak
apa-apa sih, yang penting ganteng.” Aku memutar bola mataku saat mendengar
ucapannya
“Mau
ngapain nelpon?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, daripada dia terus-terusan
memuji dirinya sendiri
“Gue
mau main ke rumah lo dong. Adik gue lagi nginep dirumah temennya, katanya
bareng adik lo juga.”
“Oalah,
yaudah main aja.”
“Sip!
20 menit lagi gue sampe. Tungguin gue ya, cantik.”
Aku
hanya menggumam malas menjawabnya. Kemudian aku memutuskan sambungan telpon
itu. Aku kembali melanjutkan bermain LIMBO. Aku berkali-kali berlari dan
menghindar dari serangan laba-labar besar tetapi aku tetap saja tertusuk salah
satu tangannya. Huh, lama-lama aku tidak berselera lagi bermain ini. Aku
melirik jam di laptopku, sudah 20 menit tetapi Vino tak kunjung datang.
Ponselku berdering menandakan ada bbm masuk.
Vino
: Gue udah di depan rumah lo, cantik :*
Aku
sudah biasa menghadapi Vino yang seperti ini. Aku dan Vino sudah seperti orang
yang sedang berpacaran tetapi nyatanya tidak. Yah, meskipun aku sudah membuka
‘sedikit’ pintu hatiku untuk Vino tapi aku masih menganggapnya ‘teman’. Aku
tidak tahu bagaimana perasaannya terhadapku tetapi yang jelas aku masih
menikmati ini. Masih menikmati masa-masa ini. Aku segera mengirimkan balasan
untuknya.
Gisha
: Masuk aja, ganteng. Pintunya belom dikunci.
Setelah
beberapa menit menunggu, pintu kamarku terbuka. Aku yakin itu Vino jadi aku
santai saja sambil bermain handphone. Setelah beberapa detik tidak ada orang
yang masuk, aku jadi heran. Kemana si Vino itu? Aku memutuskan beranjak dari
posisi sambil menaruh ponselku di saku celana, untuk melihat apa yang terjadi
disana. Setelah keluar dari kamar, aku tak melihat adanya tanda-tanda
kehidupan. Saat aku ingin menuju ruang tamu, aku menginjak sebuah kertas. Aku
ambil kertas itu dan kulihat tulisan berwarna merah, kertas itu berisi tulisan “FOLLOW ME!”. Aku mengernyit, siapa yang
melakukan ini semua?
Aku
tidak mempedulikan kertas itu dan malah menuju ke dapur. Aku butuh makanan
ringan dan minuman bersoda untuk malamku ini. Yah, ternyata Vino belum datang.
Saat aku ingin meninggalkan dapur, aku melihat ada tulisan lagi di dekat
kompor. Tulisan yang berisikan “Bandel
banget sih lo! Ikutin gue, Gisha! Lo pergi ke halaman depan lo sekarang juga!”.
Aku merinding seketika. Siapa yang melakukan hal ini? Kenapa dia tahu namaku?
Kenapa dia melakukan hal ini? Aku segera mengetikkan bbm untuk Vino.
Gisha
: VIN! TOLONG GUE! GUE TAKUT TINGKAT AKUTTT!!
Setelah
hampir 10 menit menunggu balasan bbm dari Vino, aku memutuskan untuk kembali ke
kamar. Sebelum aku menaiki tangga, ada tulisan lagi, “Kalo lo mau keluarga lo selamat, lo ke halaman depan sekarang!”.
Dengan tangan bergetar aku merobek kertas itu dan membuangnya dengan asal. Ya
ampun, aku punya salah apa sampai-sampai keluargaku dibawa-bawa? Tanpa berpikir
panjang, aku segera ke halaman depan. Kemudian aku sampai dan melihat-lihat. Disini
tidak ada siapapun selain aku.
Aku
melihat ada sebuah kertas lagi ditempel di pohon. Aku segera mendekatinya dan
membaca tulisannya, “Lo ke tempat danau
favorit lo sekarang!”. Aku kembali merinding. Dia tahu darimana tempat
danau favoritku? Apa selama ini aku selalu di ikuti oleh seorang ‘psycho’?
Membayangkannya membuatku ketakutan. Tak terasa sebulir air mata lolos dari
mataku. Aku harus kesana demi keluargaku. Harus!
Dengan
menggunakan mobil, aku meluncur ke tempat yang sekarang aku nobatkan menjadi
danau terkutuk. Setelah sampai, aku turun dengan kaki gemetar. Aku takut kalau
keluargaku benar-benar ada dalam tangan seorang psycho. Ya Allah, tolong aku.
Aku
mengernyit bingung. Di kawasan danau terkutuk ini, aku tak melihat adanya
tanda-tanda keberadaan seorang psycho. Justru yang aku lihat sekarang adalah
lilin yang menyala bertebaran dimana-mana, kelopak mawar putih bertebaran,
lampu warna-warni menghiasi pohon-pohon yang ada disekitarnya membuat suasana
menjadi romantis. Ini penculikan atau sebuah acara romantis?
Aku
melihat kembali ada tulisan di permukaan danau tetapi aku tak tahu tulisan itu
terbuat apa, berisikan “I LOVE YOU,
GISHA”. Aku semakin gemetar melihat tulisan yang ada di danau itu. Apakah
seorang psycho mencintaiku? Ya Allah, cobaan apalagi yang engkau berikan? Aku
merasakan air mataku jatuh lagi mengingat sekarang aku dicintai seorang psycho.
“Kak
Gisha!”
Aku
segera menoleh kearah sumber suara yang sangat aku kenali. Benar saja, disana
Gisha bersama kedua orangtuaku berdiri. Aku segera berlari kearah mereka dan
menghambur ke pelukan mereka. Lalu aku melepaskan pelukan setelah menyadari
kalau mereka tidak membalas pelukan mereka.
“Kalian
di apain sama psycho itu?” tanyaku sangat khawatir
“Psycho
yang mana?” Tanya mama
“Psycho
yang nyekap kalian semua disini. Kalian diculik kan?”
“Kami
gak diculik. Kami kesini mau menghadiri acara lamaran.” Jawab papa kali ini
“Acara
lamaran siapa? Jangan bercanda deh. Disini tuh jelas-jelas kalian diculik sama
psycho.”
“Kalau
psychonya ganteng kayak gue gimana?”
Kalimat
yang meluncur itu sukses membuatku menganga sempurna. Aku berbalik mengarah
kepada sumber suara itu. Seorang pria yang akhir-akhir ini dekat denganku
berdiri di pinggir danau dengan berbalut jas setelan yang membuatnya semakin
tampan. Di iringi cahaya yang setengah redup membuatnya semakin menawan.
“Ini
apaan sih maksudnya?!” tanyaku kesal
Ya,
aku kesal. Ternyata semua orang disini mempermainkanku. Vino menghampiriku lalu
memelukku, segera aku dorong tubuhnya. Aku pukuli tubuhnya dengan sekuat tenaga
dan dengan dengan sendirinya tangisku pecah. Vino menangkup tanganku dan
mencium buku-buku jariku.
“Maafin
gue, okay?” ucapnya dengan lembut
“Nggak!
Gue benci sama lo! Dasar psycho gila!” bentakku
“Terserah
lo mau maafin gue atau gak. Gue tau ini keterlaluan banget. Gue cuma mau ngasih
kejutan plus menyatakan perasaan gue yang dari dulu udah gue pendam. Tepatnya
semenjak SMA. Dari awal gue duduk sebangku sama lo pas SMA, gue udah sayang
sama lo. Bukan sebagai sahabat atau semacamnya. Gue emang pengecut gak berani
ngungkapinnya karena gue tau dulu lo itu banyak yang ngejar-ngejar dan gue jadi
minder.”
Ucapan
Vino membuatku terdiam. Dia sayang sama aku? Semenjak SMA? Ya ampun aku jadi
merasa bersalah karena tidak peka terhadap perasaanya. Ya, memang benar. Saat
SMA banyak yang mengagumiku tapi aku menolak mereka secara halus agar mereka
tidak tersakiti hatinya.
“Gue
minder karena cowok-cowok yang ngejar lo lebih baik dari gue. Saat lulus SMA
sebenarnya gue mau nyatain perasaan gue, tapi keberanian itu gak kunjung
dateng. Akhirnya gue milih mengubur perasaan ini. Saat jaman kuliah, gue denger
lo jadian sama Rino dan itu malah membangkitkan perasaan gue lagi. Gue gak mau
ngerusak hubungan kalian jadi gue menahan perasaan ini. Lalu gue dapet kabar
kalau Rino meninggal dan keadaan lo sangat terpuruk. Gue mau datang lagi ke
kehidupan lo untuk menghibur lo, tapi siapa sangka perasaan ini justru semakin
menggebu-gebu saat gue berdekatan sama lo.” Lanjut Vino
“Jadi
gue harap lo bisa menghargai perasaan gue. Gue tau emang gak gampang dapetin lo
tapi kalau lo udah ngehargain perasaan gue, gue udah seneng banget. Sebenarnya
gue mau tanya juga sih, lo punya perasaan yang sama gak sama gue?”
Aku
tak tahu sudah berapa banyak meneteskan air mata karena mendengar pengakuannya.
Sudah cukup aku menyakitinya. Sudah cukup aku terpuruk dengan keadaan. Sudah
cukup aku menangisi kepergian orang yang sudah pergi. Aku harus bisa membalas
perasaan Vino. Lagipula aku sudah membuka pintu hatiku walaupun sedikit untuk
Vino.
“Gue
udah ngebuka pintu hati untuk lo walaupun baru sedikit. Itu gak masalah kok.
Lagipula cinta ada karena terbiasa kan? Ya, gue punya perasaan itu walaupun
hanya sedikit.” Jawabku menyakinkannya
Vino
tersenyum dengan menawan. Aku juga ikut tersenyum melihatnya. Dia mengambil
sesuatu di saku jasnya. Itu adalah sebuah kotak kecil berwarna biru. Vino
membukanya dan terlihatlah sebuah cincin sederhana dengan batu kecil yang
mengkilap di tengahnya. Aku menutup mulutku untuk tidak menganga disaat seperti
ini. Tentu saja aku terkejut.
“Will
you marry me?” tanyanya dengan lembut dan ada nada tegas di dalamnya
Dengan
kemantapan hati, aku menjawab “Yes, I will.”
0 komentar:
Posting Komentar